Tuesday, May 24, 2011

SUMBU FATAMORGANA SEBAGAI TEMPAT KEDUDUKAN

SUMBU-SUMBU FILSAFAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KESUKSESAN DALAM MEMPELAJARI FILSAFAT

Kesuksesan dalam mempelajari filsafat, terutama filsafat matematika dan pendidikan matematika tidak lain tidak bukan hanyalah berasal dari dalam diri kita sendiri. Dimana di dalam diri kita masing-masing terdapat suatu sumbu koordinat yang mampu untuk menyeimbangkan antara dunia filsafat yang bersifat intensif dan yang bersifat ekstensif. Dimana dalam menyeimbangkan antara keduannya haruslah mampu untuk menyesuaikan dengan RUANG dan WAKTU yang sesuai dengan apa yang telah dilaksanakan dan apa yang akan dilaksanakan. Sepert halnya dalam ujian isian singkat. Kebanyakan mahasiswa kurang mampu untuk memahami apa yang ditanyakan, bagaimana maksud dari pertanyaan itu, dan bagaimanakah jawaban yang tepat dari pertanyaan yang diajukan tersebut. Seperti halnya dalam ujian filsafat pendidikan matematika pada hari Kamis, tanggal 19 Mei 2011 kemarin. Kebanyakan mahasiswa hanya mendapatkan nilai yang masih dibawah standar sebab kita menyadari bahwasanya kita belum banyak membaca referensi dari elegi-elegi yang telah disampaikan. Seperti halnya pertanyaan yang amat sangat wajib dan penting kita perdalam jawaban atas pertanyaan itu yaitu tentang pencanangan karakter dalam pendidikan matematika. Dimana dalam mentransfer karakter ke dalam pendidikan terutama pendidikan matematika dapat berasal dari empat cara yaitu komunikasi material matematika, komunikasi formal matematika, komunikasi normatif matematika, dan komunikasi spiritual matematika.

a. Pendidikan karakter melalui komunikasi material matematika

Komunikasi material matematika didominasi oleh sifat horisontal arah vitalitasnya. Dilihat dari segi keterlibatannya, jumlah satuan potensi yang terlibat adalah bersifat minimal jika dibandingkan dengan komunikasi dari dimensi yang lainnya. Maka, sebagian orang dapat memperoleh kesadaran bahwa komunikasi material matematika adalah komunikasi dengan dimensi paling rendah. Sifat korelasional sejajar memiliki makna kesetaraan antara subjek atau objek komunikasi. Implikasi dari kesetaraan subjek dan objek adalah bahwa mereka memiliki posisi yang paling lemah dalam sifat penunjukannya.

(sumber: http://powermathematics.blogspot.com/2011/04/artikel-populer-pendidikan-karakter.html)

Sehingga dari keterangan diatas, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwasanya komunikasi material dari matematika itu sendiri berkaitan langsung dengan diri kita sendiri tentang bagaimana kita mampu dan dapat menyikapi matematika yang dapat ditinjau dari materialnya itu bagaimana dad jikalau kita mampu untun menerapkan matematika itu sendiri dengan kemampuan yang kita miliki tanpa meninggalkan referensi yang mendukung maka kita akan mampu untuk menumbuhkan pendidikan karakter terutama dalam pendidikan matematika secara semaksimal mungkin dan dapat terlaksana dengan baik. Sehingga kita mampu menciptakan suasana pembelajaran matematika itu menjadi lebih menarik dan dapat menerapkan pendidikan karakter dalam matematika dengan semaksimal mungkin.

b. Pendidikan Karakter melalui Komunikasi Formal Matematika

Komunikasi formal matematika didominasi oleh sifat-sifat korelasional ke luar atau ke dalam dari vitalitas potensinya. Korelasi ke luar atau ke dalam memunyai makna perbedaan antara sifat-sifat yang di luar dan sifat-sifat yang di dalam. Korelasi antara perbedaan sifat itulah yang menentukan sifat dari subjek atau objek komunikasinya. Implikasi dari perbedaan sifat-sifat subjek atau sifat-sifat objek memberikan penguatan adanya perbedaan sifat penunjukan.

(sumber: http://powermathematics.blogspot.com/2011/04/artikel-populer-pendidikan-karakter.html)

Dari apa yang saya ambil dalam elegi diatas, bahwasanya komunikasi forma dalam matematika itu amat sangatlah penting terutama dalam mencanangkan pendidikan karakter dalam matematika itu sendiri. Dimana, dalam pentransferan pendidikan karakter melalui pendekatan komunikasi formal ini sangat menguntungkan. Sebab, komunikasi formal ini dapat dilaksanakan ke dalam dan keluar. Dimana komunikasi ini dapat dilaksanakan ke dalam artinya kita dapat menelusuri bentuk-bentuk karakter yang ada dalam diri kita untuk dijadikan suatu hal yang dapat digunakan untuk menumbuhkan karakter dalam matematika. Sedangkan komunikasi formal yang dari luar, kita dapat mencari referensi dan sumber-sumber lain seperti menakukan tanya jawab dengan dosen ataupun dengan seseorang yang mengusai tentang pendidikan karakter. Dimana vitalitas dari subjek matematika dengan potensi lebih besar akan mengukuhkan dirinya tetap bertahan sebagai subjek, sedangkan vitalitas dari subjek dengan potensi lebih kecil akan menggeser peran subjek dirinya menjadi peran objek bagi subjeknya. Intuisi two-oneness akan membantu subjek matematika untuk memahami objek matematika. Sehingga, kita dapat memperoleh acuan untuk menjadikan suatu pendidikan karakter dalam matematika itu dapat muncul seutuhnya.

c. Pendidikan Karakter melalui Komunikasi Normatif Matematika

Komunikasi normatif matematika ditandai dengan meluruhnya sifat-sifat penunjukan korelasionalitas penunjukannya pada diri subjek dan objeknya. Namun demikian, komunikasi dikatakan memunyai dimensi yang lebih tinggi dikarenakan keterlibatan satuan-satuan potensinya lebih banyak, lebih luas, dan lebih kompleks. Meluruhnya sifat penunjukan korelasional horisontal bukan disebabkan oleh lemahnya potensi dan vitalitas komunikasi, tetapi semata-mata dikarenakan luasnya jangkauan dan keterlibatan satuan-satuan potensi dan vitalitas baik pada diri subjek maupun objek.

(sumber: http://powermathematics.blogspot.com/2011/04/artikel-populer-pendidikan-karakter.html)

Sehingga, dari cuplikan yang saya ambil diatas dapat kita jabarkan bahwasanya komunikasi normatif dari pendidikan matematika untuk mewujudkan suatu karakter dari matematika itu sendiri amat sangatlah bermanfaat. Seban dengan adanya komunikasi normatif ini maka kita akan mampu untuk mempelajari dimensi-dimensi yang lebih luas, dalam dan lebih menyeluruk dari matematika untuk bisa dan dapat mengidentifikasi karakter-karakter yang cocok yang sudah ada di dalam kepribadian kita maupun yang belum ada di dalam diri kita. Sehingga nantinya kita akan mampu mewujudkan karakter dari apa yang telah kita rencanakan. Sebab pendidikan karakter amat sangat dibutuhkan pada era saat ini.

d. Pendidikan Karakter melalui Komunikasi Spiritual Matematika

Sifat-sifat korelasional keluar dari konsep matematika menunjukkan keadaan semakin jelas dan tegasnya apakah dalam bentuk ke luar ke atas atau ke luar ke bawah. Korelasionalitas potensi dan vitalitas matematika ke atas akan mentransformasikan bentuk komunikasi ke dimensi yang lebih atas yaitu komunikasi spiritual matematika. Di pihak lain, korelasional potensi dan vitalitas ke bawah akan mentransformasikan bentuk komunikasi matematika ke dimensi yang lebih bawah, yaitu komunikasi formal matematika atau komunikasi material matematika.

(sumber: http://powermathematics.blogspot.com/2011/04/artikel-populer-pendidikan-karakter.html)

Dari cuplikan diatas, maka komunikasi untuk mewujudkan suatu karakter terutama karakter dalam pendidikan matematik itu tidak akan lengkap dalam pelaksanaannya jikalau kita tidal mampu untun mewujudkan dan melaksanakan suatu komuniksi yang sangat terpenting yaitu komunikasi spiritual. Sebab, komunikasi spiritual ini dapan dan mampu untuk menentramkan jiwa si pelaku dalam mewujudkan dunia karakter dalam matematika. Sebab komunikasi ini dapat dijadikan komunikasi yang langsung kepada sang pencipta (Allah SWT). Sehingga kita dapat memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa dari apa yang telah kita perbuat dan akan kita laksanakan dalam terwujudnya pendidikan karakter yang mampu untuk menciptakan seorang insan yang mampu untuk membangun bangsanya sendiri dengan karakter yang baik yang ada dari dalam diri mereka sendiri. Dan jikalau kita terapkan dalam pendidikan matematik, maka kita mampu menyadari sepenuhnya bahwa di dalam diri kita dan di dalam matematika itu terkandung suatu karakter yang baik dan kuat untuk bisa dijadikan suatu tolak ukur dari suatu hal.

Sehingga, dari uraian diatas maka akan muncul suatu siklus dalam kehidupan manusia yang mengandung dua hal yang saling bertentangan yang dapat digabungkan dan dijadikan duatu hal yang dapat mendukung dan mewujudkan suatu hal. Dimana, banyak sekali kita menenui bebragai hal yang mempunyai makna yang saling bertentangan. Misalkan seperti adanya mitos dan logos, lahir dan mati, yang lalu dan yang akan datang, etika dan estetika, dan masih banyak yang lainnya. Dimana antara keduannya itu amat sangat berkaitan dengan tiga pilar dalam filsafat yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Sehingga, akan menimbulkan suatu persoalan jikalau kita tidak mampu untuk menggabungkan keduannya. Sehingga kita haruslah mampu untuk memanfaatkan RUANG dan WAKTU dengan sebaik mungkin. Sehingga nantinya akan terjadi hubungan timbal balik antara kedua hal yang merupakan hal yang awalnya saling bertolah belakang tersebut. Sehingga akan muncul sumbu fatamorgana yang menghubungkan antara kedua hal yang berbeda tersebut dan dapat disatukan asalkan sesuai dan mampu untuk menghargai RUANG dan WAKYU-nya.

Wednesday, May 11, 2011

REFLEKSI FILSAFAT TENTANG KETERKAITAN TIGA PILAR FILSAFAT DENGAN PERJALANAN HIDUP MANUSIA

Ilmu merupakan suatu hal yang sangat berarti bagi perjalanan hidup manusia. Dimana ilmu merentang dari dunia pikiran kita sampai dunia nyata (dunia yang berada di luar pikiran kita). Cara untuk memahami ilmu tersebut jika kita kaitkan dengan filsafat dapat kita telusuri melalui tiga pilar dalam filsafat yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Sehingga, dari ketiga pilar tersebut akan diperoleh keterkaitan antara ilmu dengan filsafat. Dimana ilmu dapat bersifat ekstensif dan intensi atau dalam sedalam-dalamnya dan luas seluas-luasnya. Sehingga kita akan mampu memahami makna filsafat tersebut dalam mengarungi perjalan hidup di dunia ini seperti perjalanan spiritual kita dalam pencarian bekal untuk kehidupan di dunia yang berikutnya. Jika kita lanjutkan pembicaraan tentang keterkaitan tiga pilar filsafat dengan ilmu yang ada yaitu antara lain:

1. Jika kita kaitkan ontologi dengan ontologi maka mempunyai makna bahwa hakekat atas hakekat itu hanyalah Allah SWT yang mampu untuk mengetahui makna dari hal tersebut. Sebab hal tersebut merupakan rahasia yang hanya diketahui makna dan maksudnya oleh Allah SWT.

2. Ontologinya dari epistimologi merupakan dunia dari kita. Dimana dalam hal ini berisi tentang metode dari dan cara dari kita untuk mampu mengatasi semua persoalan yang telah kita alami dan yang akan kita alami selama kita masih menerapkan dan mampu menyesuaikan diri kita dengan Ruang dan Waktunya. Sehingga ontologinya dari epistimologi merupakan hakekatnya dari suatu metoda yang akan dan telah kita terapkan dalam kehidupan kita. Dimana dalam pelaksanaannya kita hanya mampu untuk memikirkan sejauh pikiran kita untuk memikirkannya.

3. Ontologinya dari aksiologi merupakan hakekat dari baik-buruk. Dimana hakekat baik buruk itu merentang dalam Ruang dan Waktu sejauh kita memikirkannya. Sehingga dengan filsafat, kita akan mampu untuk menterjemahkan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dari hakekat baik-buruk kita.

4. Berkaitan dengan epistimologinya dari ontologi, kita dapat mengartikan dengan metodenya (cara) untuk menggali hakekat dan memunculkan hakekat. Sehingga dalam hal ini, kita tau dan akan mampu untuk mengetahuinya selama kita mentaati segala yang ada dan yang mungkin ada dalam Ruang dan Waktunya.

5. Epistimologinya dari epistimologi merupakan metodenya dari metode. Dimana kita akan mampu untuk mengetahui benar salahnya segala metode yang kita lakukan. Sehingga kita akhirnya mampu dan dapat membenahi segala hal yang terkait dengan metode yang kurang sesuai.

6. Epistimologinya dari aksiologi merupakan metode dari kebaikan dan keburukan. Dimana untuk mengungkapnya, kita harus mampu melakukan oleh pikir dalam diri kita. Sehingga kita akan mampu menerapkan metode untuk menentukan cara yang dapat kita tempuh dan kita junjung untuk menemukan suatu kebaikan yang abadi. Dan mampu untuk memilih metode yang tepat agar kita terhindar dari segala hal yang bersifat buruk.

7. Aksiologinya ontologi yaitu merupakan baik-buruknya hakekat. Dimana dalam berfilsafat, kita harus mampu untuk mejalankan dan melaksanakan tata etika dan estetikannya dalam berfilsafat. Sehingga jikalau kita mampu untuk melakukannya dengan baik, maka kita akan mampu untuk mentaati Ruang dan Waktu dalam berfilsafat dengan sebaik-baiknya. Dan kita dapat menjalankan kehidupan kita di dunia ini dengan semaksimal mungkin.

8. Aksiologinya epistimologi yaitu etika dan estetikanya dari metode. Dimana cara yang kita tempuh dan kita lakukan haruslah disesuaikan dengan etika dan estetika yang berlaku di masyarakan mampun di tempat-tempat lain atau dapat kita katakan harus sesuai dengan Ruang dan Waktunya.

9. Sedangkan Ontologinya ontologi merupakan tata cara baik buruk tentang baik buruk. Maknanya seperti contoh berikut misal, menyampaikan kebaikan dengan menggunakan cara yang baik. Sehingga ontologinya ontologi ini sangat penting jika kita mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebab ini merupakan gambaran dari orang yang sadar dan mampu untuk mengarungi Ruang dan Waktu yang sesungguhnya.

Sehingga, dari kesembilan hal tersebut jikalau kita mampu menerapkannya dalam kehidupan kita pastilah hidup ini akan sangat bermakna dibandingkan jikalau kita tidak mau dan mampu untuk mempelajarinya serta menerapkannya dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dari apa yang telah saya paparkan diatas, jika kita kaitkan dengan budaya jawa maka akan muncul hal-hal yang dapat diartikan dalam suatu simbol-simbol seperti dalam sebuah prosesi pernikahan, aka simbol “tebu” yang mempunyai makna “anteping kalbu”. Selain itu, ada pula yang dimaksud sebagai “kacar kucur” yang mengandung makna “seorang istri harus mampu mengemban amanah dari suaminya”. Sehingga dalam suatu pernikahan merupakan suatu hal yang dianggap penting dari suatu awal kehidupan sepasang manusia. Sehingga dalam suatu pernikahan mempunyai hakekat yang melandasi yaitu adanya ijab qobul.

Dari tiga pilar filsafat tersebut, kita juga dapat mengaitkannya dalam suatu perjalanan imajiner yang kita alami. Dimana, perjalanan imajiner yang kita alami dapat bersifat infinite regres. Seperti contohnya ketika kita bermimpi dan di dalam mimpi kita bermimpi lagi, dst. Hal tersebut akan bisa dan dapat menjadikan seseorang mati jikalau ia tidak mampu untuk kembali ke mimpi awalnya. Sehingga mimpi itu sendiri dapat kita artikan sebagai pengalaman spiritual yang kita alami. Sehingga kita dapat mengaitkannya dengan ontologi dan epistimologi dari suatu perjalanan spiritual tersebut. Selain imajinernya berfikir, kita juga dapat memahami suatu angan-angan kita dariapada yang telah kita impi-impikan untuk dijadikan pedoman dalam menggapainya. Akan tetapi, menghayalkan suatu hal itu haruslah kita mampu untuk menyadarinya. Sebab untuk berfikit dan memikirkan sautu hal itu kita haruslah mempunyai kesadaran. Dimana sadar dapat dipecah menjadi dua yaitu sadar ke dalam dan sadar keluar. Dimana berkhayal merupakan bentuk sadar ke luar dari apa yang telah kita pikirkan.

Selain pengalaman imajiner, kita juga dapat mengaitkan tiga pilar filsafat tersebut untuk mengetahui dan memahami seberapa jauhkan batas dari pikiran kita untuk memikirkan suatu hal. Dimana, dari sudut pandang filsafat yang berkaitan dengan tiga pilar tersebut, maka batas pikiran kita adalah hatiku sendiri. Dimana, jikalau kita memikirkan sesuatu maka kita tidak akan mampu memikirkannya sedalam-dalamnya sampai tuntas dalam spiritualku. Akan tetapi, kita hanyalah mampu memikirkannya sebatas pada Hatiku saja. Sehingga akan memunculkan mitos-mitos belaka dari apa yang kita pikirkan tersebut jikalau kita tidak mampu untuk medalaminya sesuai dengan Ruang dan Waktunya. Dimana, segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada pastilah akan ada penunggunya. Jikalau kita pikirkan sedalam-dalamnya dan tidak sesuai dengan ruang dan waktunya maka akan menimbulkan mitos belaka. Seperti segala yang dilakukan kepada anak kecil hanyalah mitos belaka saja. Dari hal tersebut, akan muncul sintesis-sintesis dan anti tesis-anti tesisnya dari apa yang ada dan yang mungkin ada dari apa yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini. Dimana tesis, sintesis dan anti-tesi tidak lain tidak bukan adalah Hatiku. Sehingga jika kita kaitkan filsafat dengan referensi yang ada dalam bacaan, maka ibarat seperti Gunung es yang mempunyai dasar yang lebar. Sehingga berfilsafat merupakan suatu hal yang asik dan menarik untuk dipelajari dan didalami sedalam dalamnya. Selain itu, jika kita kaitkan dengan matematika, maka filsafat dapat mempunyai peran untuk menjadikan bahwa matematika itu berkaitan dengan hal yang ada dan yang mungkin ada di dalam matematika.

Dalam matematika, segala hal yang ada dan yang mungkin ada itu tidak bersifat netral sebab segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada itu merentang dan terbatas hanya dalam Ruang dan Waktunya. Sehingga matematika itu bersifat tidak netral. Sebagai contoh 2 + 3 = 5 itu benar jikalau terbatas hanya pada Ruang dan Waktunya. Akan tetapi 2 ≠ 2 jikalau tidak berkaitan dengan Ruang dan hanya berkaitan dengan Waktunya saja. Sebab 2 ada yang pertama dan 2 yang kedua. Sehingga keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Sehingga filsafat terutama tiga pilar dalam filsafat tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mempelajari dan menggali makna yang ada di balik semua simbol-simbol dalam matematika.

Sedangkan jika kita kaitkan dengan bahasa, maka bahasa yang merupakan suatu yang amat sangat penting dalam filsafat. Dimana bahasa yang paling tepat dalam bahasa yang hanya kita ajukan kepada Tuhan. Sedangkan dalam filsafat, bahasa yang digunakan merupakan bahasa Analog. Sehingga kita dapat mengartikan bahwa diriku ini adalah bahasa. Dimana bahasaku tidak mampu untuk mengungkapkan segala yang ada dan yang mungkin ada dalam hidup dan kehidupan ini. Jika kita kaitkan dengan matematika, maka struktur bahasa dan struktur matematika itu merupakan bahasa. Sehingga matematika itu adalah bahasa. Sehingga jika kita kaitkan dengan budaya Jawa, bahasa dan filsafat itu mempunyai hubungan yaitu SASTRA GENDING yang berhubungan dengan Subjek dan Predikat. Sehingga memunculkan berbagai macam makna yang mampu untuk diungkapkan. Akan tetapi tidak mampu untuk dipikirkan sedalam-dalamnya sebab pikiran kita mempunyai batasan. Sehingga dalam perjalanan mengarungi kehidupan kita dapat menerapkan tiga pilar filsafat untuk menunjang keberhasilan dalam pencapaian Ruang dan Waktu yang sesungguhnya dan seutuhnya.

Wednesday, May 4, 2011

REFLEKSI FILSAFAT TENTANG APA YANG ADA DAN APA YANG MUNGKIN ADA

Filsafat merupakan cabang ilmu yang sangat dan amat sangat bermanfaat bagi kehidupan kita selama mengarungi perjalanan hidup di dunia ini. Dimana filsafat sangat mempengaruhi perjalanan kehidupan pribadi dari seseorang. Seperti pengalaman-pengalaman yang membuat seseorang menjadi senang, susah, bahagia, takjub dan lain sebagainya. Cabang dari filsafat ada bermacam-macan antara lain filsafat pendidikan, filsafat matematika, filsafat pendidikan matematika dan yang lain sebagainya. Seperti refleksi filsafat yang telah kita lakukan di perkuliahan filsafat pendidikan matematika dengan Dr. Marsigit, MA di ruang kelas. Bahwasanya, filsafat terutama filsafat pendidikan matematika bahkan filsafat yang bersifat umum merupakan suatu gambaran ataupun sebuah penomena dalam kehidupan yang tidak bisa lepas dari Ruang dan Waktu yang mengikatnya. Dimana penomena itu sendiri merupakan sesuatu yang dapat berubah (menurut Heraklitos) bahkan bisa pula bersifat tetap (menurut Permenides). Dimana dalam hal ini, filsafat dapat menjawab pertanyaan tentang apa dan kapan suatu penomena itu terjadi dari sudut pandang filsafat. Misal penomena orang yang seksi itu seperti Barac Obama yang sangat seksi akan kepemimpinannya yang amat sangat berwibawa yang mampu menjadi orang nomor satu di suatu negeri Adikuasa.

Dalam mempelajari filsafat, kita juga harus mampu untuk menghargai Ruang dan Waktu yang menjadi sebuah wadah demi terciptanya suatu cita-cita yaitu menggapai dunia yang seutuhnya. Sehingga dalam mengaitkan dengan objek formal dan objek material dalam berfilsafat kita tidak akan menjadi bingung jikalau kita mampu membedakan antara kedua objek tersebut serta mampu menghargai Ruang dan Waktunya. Dimana objek formal dari filsafat merupakan suatu wadah atau metode. Sedangkan objek materialnya berupa isi. Jika dikaitkan dengan pendidikan matematika, objek materialnya berupa objek dalam matematika itu sendiri sedangkan objek formalnya yaitu penelitian. Sehingga, dalam mempelajari filsafat, kita dapat mengukur kemampuan yang sama yang ada dalam diri kita. Sehingga tidak akan terjadi suatu incomensurable dalam mempelajari filsafat yang berupa membandingkan dua hal yang tidak akan mungkin kita bandingkan. Selain dua hal atau dua objek filsafat diatas, dalam mempelajari filsafat terutama filsafat pendidikan matematika, kita harus mampu menerapkan landasan filsafat yaitu aksiologis, epistimologis, ontologis dari filsafat pendidikan matematika. Sehingga kita dapat mengetahui kualitas-kualitas dari pendidikan yang berkembang di negara kita selama ini serta dapat membandingkan dengan kualitas pendidikan yang berkembang di negara lain. Seperti dalam pelaksanaannya selama ini, bahwa matematika yang telah berkembang di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang filsafat telah menganut aliran matematika Hilbert. Sebab Hilbert telah mampu untuk membangun matematika yang bersifat formal serta dalam pelaksanaannya, dalam dunia pendidikan terdapat struktur-struktur pendidikan.

Filsafat pendidikan matematika juga dapat dikaitkan dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dan dapat pula digunakan untuk mengetahui apakah mimpi-mimpi dari pemerintah dalam mencapai tujuan pendidikan nasional sudah bisa tercapai ataukah belum. Seperti halnya dalam Ujian Nasional yang selama ini telah berjalan di negara ini. Dimana tujuan semula yaitu untuk mengetahui kualitas pendidikan di negara kita, akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi ketidak konsistenan pemerintah dalam menetapkan sistem yang telah ada dalam dunia pendidikan Indonesia. Terjadi dalam pelaksanannya sampai saat ini belum mampu menciptakan suasana pendidikan yang mencerminkan suatu kreatifitas yang berasal dari siswa sendiri akan tetapi hanyalah tercipta pendidikan yang memaksakan kehendak dari siswa oleh pemerintah yang menciptakan suatu sistem tersebut. Sehingga dapat muncul hal-hal yang berbau menyimpang dari apa yang telah ada dalam pendidikan seperti, dalam suatu sekolah RSBI telah muncul suatu kreatifitas siswa yang merujuk pada gambar-gambar yang berbau mistis, hantu dan lainnya yang mencerminkan bahwa dunia pendidikan kita selama ini belum berhasil mencapai tujuan pendidikan nasional yang seutuhnya. Sehingga dalam memaknai hal tersebut kita harus mampu untuk menterjemahkan bahkan mau untuk diterjemahkan maksud dan makna dari setiap hal yang unik yang telah dikembangkan oleh siswa tersebut.

Jika kita tinjau dari filsafat secara umum, hal-hal yang ada dalam tulisan diatas merupakan suatu hal yang ada dan yang mungkin ada dalam dunia pendidikan kita selama ini. Sehingga akan muncul hal-hal yang dapat digunakan sebagai suatu referensi untuk dapat digunakan sebagai peyeimbang dari penyimpangan yang telah terjadi. Sehingga referensi dalam suatu sistem merupakan hal yang sangat penting sebab referensi dapat membedakan antara tesis dan anti-tesis dari suatu pernyataan yang telah dikemukakan. Maka dari apa yang telah terjadi dalam dunia pendidikan kita, akan muncul pemberontakan-pemberontakan dalam dunia pendidikan yang menginginkan adanya revolusi pendidikan di negeri kita ini. Sehingga dalam mengungkapkan revolusi pendidikan ini, akan muncul pemikiran-pemikiran yang bersifat intensif dan bersifat ekstensif. Selain itu juga akan muncul intuisi dalam pikiran kita untuk mengungkapkan maksud dan tujuan kita dalam melakukan suatu revolusi pendidikan. Dimana intuisi merupakan suatu pengalaman yang kita pikirkan selama ini lalu dapat kita terapkan dalam kehidupan yang bersifat nyata. Dan munculah suatu imajinasi yang mampu kita pikirkan dalam pikiran kita untuk menjadi acuan kita dalam mengungkapkan revolusi pendidikan yang telah kita rencanakan di dalam pikiran kita dalam kehidupan yang sebenarnya. Sehingga munculah perjalanan imajener dalam mewujudkan pemikiran yang telah kia pikirkan ke dalam kehidupan nyata.