Wednesday, May 11, 2011

REFLEKSI FILSAFAT TENTANG KETERKAITAN TIGA PILAR FILSAFAT DENGAN PERJALANAN HIDUP MANUSIA

Ilmu merupakan suatu hal yang sangat berarti bagi perjalanan hidup manusia. Dimana ilmu merentang dari dunia pikiran kita sampai dunia nyata (dunia yang berada di luar pikiran kita). Cara untuk memahami ilmu tersebut jika kita kaitkan dengan filsafat dapat kita telusuri melalui tiga pilar dalam filsafat yaitu ontologi, epistimologi, dan aksiologi. Sehingga, dari ketiga pilar tersebut akan diperoleh keterkaitan antara ilmu dengan filsafat. Dimana ilmu dapat bersifat ekstensif dan intensi atau dalam sedalam-dalamnya dan luas seluas-luasnya. Sehingga kita akan mampu memahami makna filsafat tersebut dalam mengarungi perjalan hidup di dunia ini seperti perjalanan spiritual kita dalam pencarian bekal untuk kehidupan di dunia yang berikutnya. Jika kita lanjutkan pembicaraan tentang keterkaitan tiga pilar filsafat dengan ilmu yang ada yaitu antara lain:

1. Jika kita kaitkan ontologi dengan ontologi maka mempunyai makna bahwa hakekat atas hakekat itu hanyalah Allah SWT yang mampu untuk mengetahui makna dari hal tersebut. Sebab hal tersebut merupakan rahasia yang hanya diketahui makna dan maksudnya oleh Allah SWT.

2. Ontologinya dari epistimologi merupakan dunia dari kita. Dimana dalam hal ini berisi tentang metode dari dan cara dari kita untuk mampu mengatasi semua persoalan yang telah kita alami dan yang akan kita alami selama kita masih menerapkan dan mampu menyesuaikan diri kita dengan Ruang dan Waktunya. Sehingga ontologinya dari epistimologi merupakan hakekatnya dari suatu metoda yang akan dan telah kita terapkan dalam kehidupan kita. Dimana dalam pelaksanaannya kita hanya mampu untuk memikirkan sejauh pikiran kita untuk memikirkannya.

3. Ontologinya dari aksiologi merupakan hakekat dari baik-buruk. Dimana hakekat baik buruk itu merentang dalam Ruang dan Waktu sejauh kita memikirkannya. Sehingga dengan filsafat, kita akan mampu untuk menterjemahkan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada dari hakekat baik-buruk kita.

4. Berkaitan dengan epistimologinya dari ontologi, kita dapat mengartikan dengan metodenya (cara) untuk menggali hakekat dan memunculkan hakekat. Sehingga dalam hal ini, kita tau dan akan mampu untuk mengetahuinya selama kita mentaati segala yang ada dan yang mungkin ada dalam Ruang dan Waktunya.

5. Epistimologinya dari epistimologi merupakan metodenya dari metode. Dimana kita akan mampu untuk mengetahui benar salahnya segala metode yang kita lakukan. Sehingga kita akhirnya mampu dan dapat membenahi segala hal yang terkait dengan metode yang kurang sesuai.

6. Epistimologinya dari aksiologi merupakan metode dari kebaikan dan keburukan. Dimana untuk mengungkapnya, kita harus mampu melakukan oleh pikir dalam diri kita. Sehingga kita akan mampu menerapkan metode untuk menentukan cara yang dapat kita tempuh dan kita junjung untuk menemukan suatu kebaikan yang abadi. Dan mampu untuk memilih metode yang tepat agar kita terhindar dari segala hal yang bersifat buruk.

7. Aksiologinya ontologi yaitu merupakan baik-buruknya hakekat. Dimana dalam berfilsafat, kita harus mampu untuk mejalankan dan melaksanakan tata etika dan estetikannya dalam berfilsafat. Sehingga jikalau kita mampu untuk melakukannya dengan baik, maka kita akan mampu untuk mentaati Ruang dan Waktu dalam berfilsafat dengan sebaik-baiknya. Dan kita dapat menjalankan kehidupan kita di dunia ini dengan semaksimal mungkin.

8. Aksiologinya epistimologi yaitu etika dan estetikanya dari metode. Dimana cara yang kita tempuh dan kita lakukan haruslah disesuaikan dengan etika dan estetika yang berlaku di masyarakan mampun di tempat-tempat lain atau dapat kita katakan harus sesuai dengan Ruang dan Waktunya.

9. Sedangkan Ontologinya ontologi merupakan tata cara baik buruk tentang baik buruk. Maknanya seperti contoh berikut misal, menyampaikan kebaikan dengan menggunakan cara yang baik. Sehingga ontologinya ontologi ini sangat penting jika kita mampu untuk menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sebab ini merupakan gambaran dari orang yang sadar dan mampu untuk mengarungi Ruang dan Waktu yang sesungguhnya.

Sehingga, dari kesembilan hal tersebut jikalau kita mampu menerapkannya dalam kehidupan kita pastilah hidup ini akan sangat bermakna dibandingkan jikalau kita tidak mau dan mampu untuk mempelajarinya serta menerapkannya dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dari apa yang telah saya paparkan diatas, jika kita kaitkan dengan budaya jawa maka akan muncul hal-hal yang dapat diartikan dalam suatu simbol-simbol seperti dalam sebuah prosesi pernikahan, aka simbol “tebu” yang mempunyai makna “anteping kalbu”. Selain itu, ada pula yang dimaksud sebagai “kacar kucur” yang mengandung makna “seorang istri harus mampu mengemban amanah dari suaminya”. Sehingga dalam suatu pernikahan merupakan suatu hal yang dianggap penting dari suatu awal kehidupan sepasang manusia. Sehingga dalam suatu pernikahan mempunyai hakekat yang melandasi yaitu adanya ijab qobul.

Dari tiga pilar filsafat tersebut, kita juga dapat mengaitkannya dalam suatu perjalanan imajiner yang kita alami. Dimana, perjalanan imajiner yang kita alami dapat bersifat infinite regres. Seperti contohnya ketika kita bermimpi dan di dalam mimpi kita bermimpi lagi, dst. Hal tersebut akan bisa dan dapat menjadikan seseorang mati jikalau ia tidak mampu untuk kembali ke mimpi awalnya. Sehingga mimpi itu sendiri dapat kita artikan sebagai pengalaman spiritual yang kita alami. Sehingga kita dapat mengaitkannya dengan ontologi dan epistimologi dari suatu perjalanan spiritual tersebut. Selain imajinernya berfikir, kita juga dapat memahami suatu angan-angan kita dariapada yang telah kita impi-impikan untuk dijadikan pedoman dalam menggapainya. Akan tetapi, menghayalkan suatu hal itu haruslah kita mampu untuk menyadarinya. Sebab untuk berfikit dan memikirkan sautu hal itu kita haruslah mempunyai kesadaran. Dimana sadar dapat dipecah menjadi dua yaitu sadar ke dalam dan sadar keluar. Dimana berkhayal merupakan bentuk sadar ke luar dari apa yang telah kita pikirkan.

Selain pengalaman imajiner, kita juga dapat mengaitkan tiga pilar filsafat tersebut untuk mengetahui dan memahami seberapa jauhkan batas dari pikiran kita untuk memikirkan suatu hal. Dimana, dari sudut pandang filsafat yang berkaitan dengan tiga pilar tersebut, maka batas pikiran kita adalah hatiku sendiri. Dimana, jikalau kita memikirkan sesuatu maka kita tidak akan mampu memikirkannya sedalam-dalamnya sampai tuntas dalam spiritualku. Akan tetapi, kita hanyalah mampu memikirkannya sebatas pada Hatiku saja. Sehingga akan memunculkan mitos-mitos belaka dari apa yang kita pikirkan tersebut jikalau kita tidak mampu untuk medalaminya sesuai dengan Ruang dan Waktunya. Dimana, segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada pastilah akan ada penunggunya. Jikalau kita pikirkan sedalam-dalamnya dan tidak sesuai dengan ruang dan waktunya maka akan menimbulkan mitos belaka. Seperti segala yang dilakukan kepada anak kecil hanyalah mitos belaka saja. Dari hal tersebut, akan muncul sintesis-sintesis dan anti tesis-anti tesisnya dari apa yang ada dan yang mungkin ada dari apa yang ada dan yang mungkin ada di dunia ini. Dimana tesis, sintesis dan anti-tesi tidak lain tidak bukan adalah Hatiku. Sehingga jika kita kaitkan filsafat dengan referensi yang ada dalam bacaan, maka ibarat seperti Gunung es yang mempunyai dasar yang lebar. Sehingga berfilsafat merupakan suatu hal yang asik dan menarik untuk dipelajari dan didalami sedalam dalamnya. Selain itu, jika kita kaitkan dengan matematika, maka filsafat dapat mempunyai peran untuk menjadikan bahwa matematika itu berkaitan dengan hal yang ada dan yang mungkin ada di dalam matematika.

Dalam matematika, segala hal yang ada dan yang mungkin ada itu tidak bersifat netral sebab segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada itu merentang dan terbatas hanya dalam Ruang dan Waktunya. Sehingga matematika itu bersifat tidak netral. Sebagai contoh 2 + 3 = 5 itu benar jikalau terbatas hanya pada Ruang dan Waktunya. Akan tetapi 2 ≠ 2 jikalau tidak berkaitan dengan Ruang dan hanya berkaitan dengan Waktunya saja. Sebab 2 ada yang pertama dan 2 yang kedua. Sehingga keduanya merupakan dua hal yang berbeda. Sehingga filsafat terutama tiga pilar dalam filsafat tersebut dapat dijadikan pedoman dalam mempelajari dan menggali makna yang ada di balik semua simbol-simbol dalam matematika.

Sedangkan jika kita kaitkan dengan bahasa, maka bahasa yang merupakan suatu yang amat sangat penting dalam filsafat. Dimana bahasa yang paling tepat dalam bahasa yang hanya kita ajukan kepada Tuhan. Sedangkan dalam filsafat, bahasa yang digunakan merupakan bahasa Analog. Sehingga kita dapat mengartikan bahwa diriku ini adalah bahasa. Dimana bahasaku tidak mampu untuk mengungkapkan segala yang ada dan yang mungkin ada dalam hidup dan kehidupan ini. Jika kita kaitkan dengan matematika, maka struktur bahasa dan struktur matematika itu merupakan bahasa. Sehingga matematika itu adalah bahasa. Sehingga jika kita kaitkan dengan budaya Jawa, bahasa dan filsafat itu mempunyai hubungan yaitu SASTRA GENDING yang berhubungan dengan Subjek dan Predikat. Sehingga memunculkan berbagai macam makna yang mampu untuk diungkapkan. Akan tetapi tidak mampu untuk dipikirkan sedalam-dalamnya sebab pikiran kita mempunyai batasan. Sehingga dalam perjalanan mengarungi kehidupan kita dapat menerapkan tiga pilar filsafat untuk menunjang keberhasilan dalam pencapaian Ruang dan Waktu yang sesungguhnya dan seutuhnya.

No comments:

Post a Comment